Perdebatan tentang LBGT sudah terjadi cukup lama
dalam sejarah peradaban manusia. Akhir akhir ini pembicaraan LGBT mencuat
kembali setelah pelaku LGBT mulai terbuka menunjukkan jati dirinya. Maraknya
pembicaraan tentang LGBT yang kian berkembang, menimbulkan kekhawatiran
tersendiri bagi masyarakat terutama orang tua.Pasalnya persoalan LGBT merupakan
persoalan anomalis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya.
Pelaku LGBT memiliki orientasi seksual yang berbeda
dengan kebanyakan orang. Hal inilah yang menyebabkan LGBT tidak diberi ruang di
negara ini. Penolakan semakin kuat saat kaum LGBT secara terang-terangan
mengungkapkan tuntutan akan legalitas keberadaan mereka kepada pemerintah.
Apa sih LGBT itu? LGBT merupakan singkatan dari
Lesbian, Gay, Biseksual, dan transgender. Lesbian,
adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada
sesama perempuan, selain itu juga diartikan wanita yang mencintai atau merasakan
rangsangan seksual sesama jenisnya, wanita homoseks. Istilah ini juga merujuk
kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual,
emosional, atau secara spiritual.
Gay
merupakan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang secara seksual
tertarik kepada sesama pria dan menunjukkan pada komunitas yang berkembang
diantara orang-orang yang mempunyai orientasi seksual yang sama. Istilah gay biasanya dikontraskan dengan straight.Biseksual adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik kepada dua jenis
kelamin sekaligus, jadi tipe ini tertarik pada laki-laki juga tertarik pada
perempuan.
Transgender merupakan istilah untuk orang yang cara
berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya
cowok tetapi tingkah laku dan sikapnya seperti cewek, bahkan berpakaiannya pun
seperti cewek atau sebaliknya. Sedangkan transeksual berbeda dan transgender,
transeksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan orientasi
seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah.
Lahirnya LGBT sendiri didasari pada prinsip
kebebasan dalam demokrasi yang mengakui adanya kebebasan untuk mengekspresikan
diri. LGBT sendiri identik dengan penyimpangan perilaku seksual, di mana
orientasi seksual yang semestinya ialah hubungan yang melibatkan lawan jenis
dan dengan satu pasangan, namun LGBT merupakan sebuah hubungan yang melibatkan
sesama jenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan
perempuan, hingga orientasi seksual ganda di mana laki-laki berhubungan dengan
perempuan serta laki-laki dan sebaliknya perempuan berhubungan dengan laki-laki
juga dengan perempuan.
Hal ini mengakibatkan lahirnya dua persepsi yang
saling bertolak belakang terhadap eksistensi LGBT, khususnya dalam kehidupan
bermasyarakat. Besarnya keinginan kaum LGBT untuk diakui dan mendapatkan hak
yang sama seperti masyarakat pada umumnya telah menciptakan polemik tersendiri
yang sebagian besar menguras segala pemikiran para pengambil kebijakan,
terutama dalam persoalan yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Munculnya keinginan untuk diakui dan diberikan hak yang bukan tanpa dasar,
namun dikarenakan pada pandangan bahwa mereka (kaum LGBT) bukanlah sebuah
penyakit sosial atau penyakit masyrakat.
Sejarah
LGBT
Tidak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu,
kehidupan dan kegiatan homoseksual terus mengalami perkembangan dari zaman ke
zaman. Pada awalnya LGBT dianggap sebagai tindakan kriminal namun melalui karya
Thomas Cannon yang berjudul Ancient and
Modern Pederasty Investigated and Exemplify’d yang diterbitkan pada 1749 di
Inggris menjadi titik balik perjuangan kaum homoseksual untuk diakui oleh
dunia.
Seorang filsuf dibidang sosial bernama Jeremy
Bentham pada tahun 1785 secara terang-terangan membela eksistensi kaum
homoseksual, hal ini dilakukan melalui sumbangan pemikiran Bentham terhadap
aturan hukum homoseksual di Inggris. Berdasarkan pemikiran Bentham tersebut
terbentuklah sebuah perubahan terhadap aturan hukum baru yang menyatakan bahwa
homoseksual bukanlah sebuah tindakan kriminal.
Inspirasi dari terbitnya aturan hukum baru mengenai
LGBT bukan tindakan kriminal menjadikan Perancis sebagai negara pertama yang
menerapkan aturan hukum legal bahwa homoseksual bukanlah tindakan kriminal pada
tahun 1791. Hal ini kemudian terus diikuti oleh negara-negara lainnya dan
menjadi inspirasi bagi terbentuknya organisasi yang bergerak memperjuangakan
legalitas kaum homoseksual seperti gerakan free
love, the black power, Anti-Vietnam War hingga Gay Liberation Movement.
Puncak pergerakan kaum LGBT untuk mendapatkan
pengakuan di mata hukum terjadi di Amerika Serikat pada 28 Juni 1969 tepatnya
di Stonewell Inn, Greenwich Village. Kerusuhan ini merupakan interpretasi kaum
homoseksual Amerika untuk memperjuangkan hak asasi kaum homoseksual
internasional, dari gerakan ini kemudian menciptakan komunitas-komunitas yang
menjadi wadah kaum homoseksual, terutama untuk mendapatkan jaminan HAM seperti Gay Liberation Front (GLF), The Gay Activits’Allainace (GAA) dan Front Homosexsual d’action Revolutionnaire.
Perjuangan kaum LGBT terus berlanjut hingga pada
tahun 1978 terbentuklah International
Lesbian and Gay Association (ILGA) di Conventry, Inggris. ILGA didirikan
dengan tujuan untuk memperjuangkan hak asasi kaum homoseksual secara
internasional dan diterima dikalangan masyarakat luas untuk turut serta dan
aktif dalam kegiatan-kegiatan di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya
tanpa memperhatikan persoalan identitas gender mereka.
Kaum LGBT menjadi salah satu kaum yang memiliki
pengaruh yang besar pada masa kini, hal ini didasarkan pada prinsip penegakkan
HAM yang harus menyamaratakan kedudukan dan status setiap warga negara dalam
setiap bidang baik sosial, politik, ekonomi, budaya, dll.
Oleh sebab itu, keberadaan kaum LGBT tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan bernegara terutama dalam setiap pengambilan
keputusan dan kebijakan sebuah negara dewasa ini. Pertentangan terhadap hak-hak
kaum LGBT hingga saat ini masih terus berlangsung, pertentangan ini menimbulkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat luas terutama dalam aspek HAM. Tidak
semua negara di dunia menganut konsep universalisme HAM seperti yang tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diprakarsai oleh PBB.
Sikap
Pemerintah dan Masyarakat mengenai LGBT
Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang
menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Resolusi PBB terkait hak-hak LGBT.
Penolakan ini ditunjukkan secara konkret oleh kementerian, lembaga, dan
kelompok masyarakat di dalam negeri.
Kemenkominfo mengeluarkan kebijakan untuk membatasi
konten tidak layak di berbagai aplikasi media sosial yang diwujudkan dengan
pemblokiran 477 situs berkonten negatif, termasuk LGBT. Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) melarang televisi dan radio untuk mengampanyekan LGBT dengan
alasan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI
tahun 2012. Sebagai tindak lanjut, KPI mengeluarkan surat edaran tentang
pelarangan pembawa acara televisi berpenampilan kewanitaan pada 23 Februari
2016.
Dari kalangan pemuka lintas agama yang terdiri dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI),
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu
Indonesia (Matakin), menyatakan penolakan perilaku LGBT karena menyimpang dari
ajaran agama dan/atau hukum alam. Di sisi lain, mereka menganggap kaum LGBT
perlu dilindungi karena mereka adalah warga negara yang punya hak sama dengan
siapapun.
Sedangkan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) menyatakan sikapnya terhadap
LGBT sebagai berikut: 1) mengategorikan homoseksual dan biseksual sebagai Orang
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sesuai UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa (UU Kesehatan Jiwa); 2) mengategorikan transeksual sebagai Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan mengacu pada UU Kesehatan Jiwa dan PPDGJ III; 3)
mendukung upaya pemenuhan hak dan kewajiban bagi ODGJ dan ODMK dengan
memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi ODGJ dan ODMK; 4) PDSKJI mendukung
upaya riset tentang homoseksual, biseksual, dan transeksual berbasis kearifan
lokal, budaya, religi, dan spiritual bangsa Indonesia; dan 5) dalam upaya
preventif dan promotif, PDSKJI melakukan advokasi secara proaktif pada
masyarakat.
Lebih lanjut, Ikatan Psikologi Klinis (IPK)
menyatakan: 1) memandang bahwa LGBT perlu diperlakukan secara manusiawi,
berkeadilan, dan beradab; 2) berkomitmen untuk memberikan layanan yang
profesional baik preventif maupun kuratif bagi individu atau kelompok dengan
kecenderungan LGBT yang membutuhkannya; 3) menentang segala upaya eksploitasi,
manipulasi, dan penyalahgunaan kecenderungan LGBT termasuk membujuk dan
menghalang-halangi pemulihan; dan 4) tidak membenarkan keberadaan organisasi
maupun komunitas formal atau informal yang mendukung LGBT karena bertentangan
dengan budaya bangsa dan berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat di
Indonesia.
Faktor
yang Mempengaruhi terjadinya LGBT
Dalam kajian Counseling
and Mental Health Care of Transgender Adult and Loved One, fenomena
transgender dinyatakan muncul tidak hanya karena pengaruh lingkungan. Pengaruh
dari budaya, fisik, seks, psikososial, agama dan kesehatan juga turut andil
dalam membentuk individu menjadi LGBT.
Menurut Byrd, faktor genetik memang menjadi
kontributor terbentuknya individu menjadi seorang lesbi, gay, biseksual atau
transgender sebagaimana yang digarisbawahi oleh kaum LGBT. Namun demikian,
bukan berarti otomatis membuatnya sebagai LGBT. Pola asuh orang tua menjadi
faktor terpenting dalam membentuk dan mewarnai sosok anak.
Bandura mengatakan, lingkungan dapat dibentuk oleh
perilaku dan sebaliknya perilaku dapat dibentuk oleh lingkungan. Dalam hubungan
resiprokal ini terjadi pembelajaran sosial yang mengarah pada transfer
informasi, kebiasaan atau perilaku. Anak yang selalu menonton tayangan perilaku
tak laras gender seperti laki-laki yang berperilaku gemulai membuka peluang
bagi anak untuk bersikap sama.
Reaksi yang muncul pertama kali adalah perasaan
aneh, lucu, atau bahkan tidak memberikan reaksi apapun, sebab anak belum
memiliki skema pengetahuan tentang sosok maskulinitas pada laki-laki.
Reaksi kedua, anak mulai memiliki pengetahuan bahwa
laki-laki bersifat seperti apa yang dilihatnya. Reaksi ketiga anak mengikuti
gaya atau perilaku laki-laki yang sering dilihatnya. Selanjutnya perasaan aneh
atau lucu di awal reaksi berubah menjadi perasaan yang understandable dan acceptable.
Dalam kondisi ini sudah terjadi internalisasi nilai tentang sosok laki-laki
yang lama kelamaan sangat mungkin berubah menjadi internalisasi pola perilaku.
Jika lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan
sebaliknya perilaku dapat dipengaruhi oleh lingkungan, maka saat mulai terjadi
internalisasi nilai, individu dapat membatasi diri untuk bersikap lebih bijak
dalam menyikapi fenomena LGBT. Individu dapat merubah persepsi sekaligus pola
fikir yang bersimpul pada pola perilaku untuk menolak atau mengikuti suatu
fenomena tertentu.
Ditilik dari kajian psikoneurologis, individu
dibekali kemampuan di dalam otaknya untuk melakukan imitasi gerakan, tindakan,
suara, perilaku atau berbicara. Bagian otak yang bertugas mengatur imitasi yang
dilakukan individu disebut lobus parietal dari belahan yang dominan. Temuan
Liepmann menunjukkan bahwa individu yang mengalami lesi di bagian daerah-daerah
otak tersebut kehilangan kemampuan meniru. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan
yang awalnya hanya melihat beralih menjadi coba-coba sangat didukung oleh
bagian otak manusia.
Imitasi berperan penting dalam membentuk komunikasi
kognitif sosial seperti bahasa, bermain, gerak tubuh serta perhatian bersama.
Imitasi tidak terlepas dari penguatan dan pelemahan. Manakala perilaku yang
ditiru memberikan akibat yang positif, maka perilaku itu akan menguat, dalam
arti perilaku itu akan terus diulangi. Sebaliknya jika perilaku hasil imitasi
tidak mendapat penghargaan dari lingkungan, di sini terjadi pelemahan, maka
kemungkinan besar perilaku tersebut akan berhenti.
Saat ini banyak remaja laki-laki yang bersikap
feminin. Mereka berbicara lemah lembut dengan gaya dan intonasi layaknya
perempuan, mengenakan pakaian berwarna mencolok dan sikap tubuh yang tidak
tegas. Remaja laki-laki yang berperilaku demikian semakin hari semakin banyak
mengemuka. Tanpa disadari masyarakat telah menerima kondisi mereka dengan tetap
berinteraksi seperti biasa. Masyarakat tidak menunjukkan “keganjilan” dalam
menerima mereka, sehingga perilaku semakin menguat. Remaja saat ini tidak lagi
merasa aneh dengan berperilaku gemulai, bahkan kecenderungan untuk
menjadikannya life style semakin
menambah kepercayaan diri mereka dalam berpenampilan. Imitasi yang dilakukan
oleh remaja.
Menurut Saul McLeod, anak mengamati model yang
memberikan contoh perilaku maskulin atau feminin. Anak hanya meniru tanpa
memikirkan objek tiru berperilaku maskulin atau feminin yang sesuai gender atau
tidak. Hampir sama dengan teori imitasi, perilaku remaja laki-laki yang gemulai
dapat dijelaskan dengan teori observasi (modelling).
Perilaku terbentuk dengan cara mengamati orang lain. Terdapat empat proses yang
terlibat dalam proses modelling ini, yaitu; 1) attention; 2) retention; 3)
production dan 4) motivation.
Attention
merupakan perhatian yang dilakukan oleh individu dalam mengamati perilaku. Anak
menonton tayangan laki-laki gemulai secara terus menerus akan menimbulkan kesan
inderawi. mereka melihat dan mendengar bagaimana perilaku gemulai itu
dilakukan.
Retention
merupakan penyimpanan memori atau ingatan terhadap apa yang mereka tiru. Kesan
yang didapat melalui atensi akan tersimpan di dalam memory. Pengetahuan yang
baru dimiliki ini tersimpan dengan sendirinya dan dapat dipanggil lagi saat
dibutuhkan.
Production
merupakan hasil dari atensi yang sudah diretensi. Remaja dapat melakukan
gerakan-gerakan tertentu setelah memiliki pengetahuan di dalam memorinya. Perilaku
anak akan menghasilkan apa yang sudah mereka lihat dan tersimpan di dalam
memori. Perilakunya diproduksi secara berulang ulang hingga akhirnya menjadi
perilaku yang terbiasa.
Motivation
merupakan dorongan yang membuat mereka berperilaku gemulai tersebut. Motivasi
akan muncul manakala pertama; terjadi penguatan seperti paparan terdahulu.
Remaja yang “diterima” di masyarakat dengan perilaku demikian cenderung akan
melakukannya lagi; kedua, memiliki tujuan tertentu, seperti membuat perilaku
tandingan yang dapat menjadi trend setter; ketiga, ingin seperti sosok yang
diidolakannya.
Perilaku remaja laki-laki feminin ini berpeluang
menjadikan mereka LGBT. Sikap yang ditunjukkan dan diperkuat dengan tindakan
menjadikan mereka memiliki perasaan lembut seperti perempuan. Ketertarikan
terhadap perilaku yang lemah lembut akan menjauhkan mereka dari perilaku
maskulin yang tegas dan berwibawa tanpa disadarinya.
Sella menemukan remaja yang melakukan imitasi
terhadap perilaku dalam sebuah film drama Korea tidak menyadari sudah
mengaplikasikan apa yang dilihat ke dalam kehidupan sehari hari. Pada usia
pubertas, remaja mulai mengembangkan kapasitas social skillnya. Eksplorasi terhadap lingkungan sosial tidak lagi
terbatas pada lingkup keluarga atau teman akrab saja. Peer group dalam relasi antara remaja membentuk rasa empati atau
simpati kepada sesama teman.
Di sini remaja mulai memiliki kecenderungan menyukai
temannya baik yang sejenis maupun teman yang berlawanan jenis. Hal ini
menunjukkan bahwa kemampuan afeksi remaja semakin berkembang dengan baik.
Kondisi demikian baik untuk perkembangan kesehatan psikologis remaja, akan
tetapi jika remaja yang sejak lama terpapar tayangan aksi LGBT dapat berubah
persepsinya dari empati kepada teman menjadi perasaan kasih sayang yang
berlebihan.
Pandangan masyarakat mengenai LGBT
Pandangan Masyarakat Mengenai LGBT Sikap masyarakat
secara umum terhadap LGBT Sebagian besar masyarakat menolak keberadaan LGBT,
khususnya di sekitar lingkungan rumah. Masyarakat
umumnya melihat keberadaan LGBT sebagai suatu hal yang negatif, abnormal, dan
kesalahan. Penolakan dan pandangan tersebut didasarkan atas ajaran agama yang
dianut sebagian besar oleh masyarakat di Indonesia dan juga karena ada anggapan
kuat bahwa Indonesia ialah negara religius. Selain itu juga, minimnya interaksi
atau informasi tentang LGBT juga semakin menguatkan pandangan tersebut. Selama
ini informasi yang diterima adalah LGBT orang-orang yang melulu berkaitan
dengan perbuatan dosa. “Masyarakat dengan latar belakang sunda dan Agama Islam
mereka tidak setuju dengan adanya LGBT.” (T, 22 tahun, Masyarakat, Bogor). “Masih
belum menerima secara mayoritas ya, masih menganggap sebuah kesalahan sesuatu
yang tidak normal dan tidak alami dan bertentangan dengan nilai-nilai agama,
karena mayoritas dari kita mengaku beragama” (U, 31 tahun, Masyarakat,
Jakarta).Latar belakang pengetahuan di atas sangat menentukan sikap masyarakat
terhadap LGBT di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat umumnya
memberikan kecaman dan menjauhi dari segala kegiatan sosial (pengucilan).
Sebagian besar menganggap LGBT sebagai penyakit yang harus dihilangkan dan juga
menakutkan bagi orang karena bisa menular. Pendapat tersebut didasari atas
ajaran agama dimana Allah menghancurkan kaum LGBT (kisah nabi Luth). Oleh
karena itu masyarakat takut akan terkena bencana akibat keberadaan mereka. “Mengecam
sih kayaknya… Ya gak nerima, kaya gitu dianggap gak beragama gitu. Tapi kan
orang secara general mengucilkan ya … Agak takut ya… Hmm.. gak tau ya. Kalau di
agama itu kan juga ada satu kota yang musnah karena di situ orang-orangnya
penyuka sesama jenis. Gak tau dihacurkan atau gimana, menurut agama ya karena
isinya kaya gitu. Jadi ibaratnya kaya dosa gitu ...” (D, 51 tahun, Masyarakat,
Bekasi). “.... Ngejauhin sih kaya takut aja disukain sama dia gitu, trus ya
gitu sih, pada ngeri sih.” (I, 22 tahun, Masyarakat, Depok). Meskipun ada yang
menolak keberadaan LGBT, sebagian masyarakat dapat memahami dan menerima
keberadaan LGBT. Pandangan sebagian masyarakat terhadap LGBT pada saat ini
sudah jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelumnya. masyarakat telah
memiliki pendidikan dan pengetahuan yang lebih baik mengenai LGBT. Oleh karena
itu, masyarakat melihat LGBT sebagai orang-orang berbeda yang memiliki dunianya
sendiri sehingga masyarakat tidak mendiskriminasi atau pun mendukung mereka,
khususnya di Jakarta. “Untuk jaman seseorang LGBT disisihkan kayanya engga sih,
mungkin jaman sekarang itu sudah banyak pengetahuannya dan pendidikannya, jadi
sudah biasa aja, enjoy aja.” (En, 50 tahun, Masyarakat, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar