Rabu, 23 Juni 2021

LGBT di Indonesia

Perdebatan tentang LBGT sudah terjadi cukup lama dalam sejarah peradaban manusia. Akhir akhir ini pembicaraan LGBT mencuat kembali setelah pelaku LGBT mulai terbuka menunjukkan jati dirinya. Maraknya pembicaraan tentang LGBT yang kian berkembang, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat terutama orang tua.Pasalnya persoalan LGBT merupakan persoalan anomalis bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya.

Pelaku LGBT memiliki orientasi seksual yang berbeda dengan kebanyakan orang. Hal inilah yang menyebabkan LGBT tidak diberi ruang di negara ini. Penolakan semakin kuat saat kaum LGBT secara terang-terangan mengungkapkan tuntutan akan legalitas keberadaan mereka kepada pemerintah.

Apa sih LGBT itu? LGBT merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan transgender. Lesbian, adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan, selain itu juga diartikan wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya, wanita homoseks. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual.

Gay merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan seorang pria yang secara seksual tertarik kepada sesama pria dan menunjukkan pada komunitas yang berkembang diantara orang-orang yang mempunyai orientasi seksual yang sama. Istilah gay biasanya dikontraskan dengan straight.Biseksual adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang tertarik kepada dua jenis kelamin sekaligus, jadi tipe ini tertarik pada laki-laki juga tertarik pada perempuan.

Transgender merupakan istilah untuk orang yang cara berperilaku atau penampilannya tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya cowok tetapi tingkah laku dan sikapnya seperti cewek, bahkan berpakaiannya pun seperti cewek atau sebaliknya. Sedangkan transeksual berbeda dan transgender, transeksual adalah orang yang merasa identitas gendernya berbeda dengan orientasi seksualnya, orang ini merasa bahwa dirinya terjebak pada tubuh yang salah.

Lahirnya LGBT sendiri didasari pada prinsip kebebasan dalam demokrasi yang mengakui adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri. LGBT sendiri identik dengan penyimpangan perilaku seksual, di mana orientasi seksual yang semestinya ialah hubungan yang melibatkan lawan jenis dan dengan satu pasangan, namun LGBT merupakan sebuah hubungan yang melibatkan sesama jenis, baik antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, hingga orientasi seksual ganda di mana laki-laki berhubungan dengan perempuan serta laki-laki dan sebaliknya perempuan berhubungan dengan laki-laki juga dengan perempuan.

Hal ini mengakibatkan lahirnya dua persepsi yang saling bertolak belakang terhadap eksistensi LGBT, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Besarnya keinginan kaum LGBT untuk diakui dan mendapatkan hak yang sama seperti masyarakat pada umumnya telah menciptakan polemik tersendiri yang sebagian besar menguras segala pemikiran para pengambil kebijakan, terutama dalam persoalan yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM). Munculnya keinginan untuk diakui dan diberikan hak yang bukan tanpa dasar, namun dikarenakan pada pandangan bahwa mereka (kaum LGBT) bukanlah sebuah penyakit sosial atau penyakit masyrakat.

Sejarah LGBT

Tidak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu, kehidupan dan kegiatan homoseksual terus mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Pada awalnya LGBT dianggap sebagai tindakan kriminal namun melalui karya Thomas Cannon yang berjudul Ancient and Modern Pederasty Investigated and Exemplify’d yang diterbitkan pada 1749 di Inggris menjadi titik balik perjuangan kaum homoseksual untuk diakui oleh dunia.

Seorang filsuf dibidang sosial bernama Jeremy Bentham pada tahun 1785 secara terang-terangan membela eksistensi kaum homoseksual, hal ini dilakukan melalui sumbangan pemikiran Bentham terhadap aturan hukum homoseksual di Inggris. Berdasarkan pemikiran Bentham tersebut terbentuklah sebuah perubahan terhadap aturan hukum baru yang menyatakan bahwa homoseksual bukanlah sebuah tindakan kriminal.

Inspirasi dari terbitnya aturan hukum baru mengenai LGBT bukan tindakan kriminal menjadikan Perancis sebagai negara pertama yang menerapkan aturan hukum legal bahwa homoseksual bukanlah tindakan kriminal pada tahun 1791. Hal ini kemudian terus diikuti oleh negara-negara lainnya dan menjadi inspirasi bagi terbentuknya organisasi yang bergerak memperjuangakan legalitas kaum homoseksual seperti gerakan free love, the black power, Anti-Vietnam War hingga Gay Liberation Movement.

Puncak pergerakan kaum LGBT untuk mendapatkan pengakuan di mata hukum terjadi di Amerika Serikat pada 28 Juni 1969 tepatnya di Stonewell Inn, Greenwich Village. Kerusuhan ini merupakan interpretasi kaum homoseksual Amerika untuk memperjuangkan hak asasi kaum homoseksual internasional, dari gerakan ini kemudian menciptakan komunitas-komunitas yang menjadi wadah kaum homoseksual, terutama untuk mendapatkan jaminan HAM seperti Gay Liberation Front (GLF), The Gay Activits’Allainace (GAA) dan Front Homosexsual d’action Revolutionnaire.

Perjuangan kaum LGBT terus berlanjut hingga pada tahun 1978 terbentuklah International Lesbian and Gay Association (ILGA) di Conventry, Inggris. ILGA didirikan dengan tujuan untuk memperjuangkan hak asasi kaum homoseksual secara internasional dan diterima dikalangan masyarakat luas untuk turut serta dan aktif dalam kegiatan-kegiatan di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya tanpa memperhatikan persoalan identitas gender mereka.

Kaum LGBT menjadi salah satu kaum yang memiliki pengaruh yang besar pada masa kini, hal ini didasarkan pada prinsip penegakkan HAM yang harus menyamaratakan kedudukan dan status setiap warga negara dalam setiap bidang baik sosial, politik, ekonomi, budaya, dll.

Oleh sebab itu, keberadaan kaum LGBT tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bernegara terutama dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan sebuah negara dewasa ini. Pertentangan terhadap hak-hak kaum LGBT hingga saat ini masih terus berlangsung, pertentangan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat luas terutama dalam aspek HAM. Tidak semua negara di dunia menganut konsep universalisme HAM seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diprakarsai oleh PBB.

Sikap Pemerintah dan Masyarakat mengenai LGBT

Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Resolusi PBB terkait hak-hak LGBT. Penolakan ini ditunjukkan secara konkret oleh kementerian, lembaga, dan kelompok masyarakat di dalam negeri.

Kemenkominfo mengeluarkan kebijakan untuk membatasi konten tidak layak di berbagai aplikasi media sosial yang diwujudkan dengan pemblokiran 477 situs berkonten negatif, termasuk LGBT. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melarang televisi dan radio untuk mengampanyekan LGBT dengan alasan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI tahun 2012. Sebagai tindak lanjut, KPI mengeluarkan surat edaran tentang pelarangan pembawa acara televisi berpenampilan kewanitaan pada 23 Februari 2016.

Dari kalangan pemuka lintas agama yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), menyatakan penolakan perilaku LGBT karena menyimpang dari ajaran agama dan/atau hukum alam. Di sisi lain, mereka menganggap kaum LGBT perlu dilindungi karena mereka adalah warga negara yang punya hak sama dengan siapapun.

Sedangkan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) menyatakan sikapnya terhadap LGBT sebagai berikut: 1) mengategorikan homoseksual dan biseksual sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sesuai UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU Kesehatan Jiwa); 2) mengategorikan transeksual sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dengan mengacu pada UU Kesehatan Jiwa dan PPDGJ III; 3) mendukung upaya pemenuhan hak dan kewajiban bagi ODGJ dan ODMK dengan memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi ODGJ dan ODMK; 4) PDSKJI mendukung upaya riset tentang homoseksual, biseksual, dan transeksual berbasis kearifan lokal, budaya, religi, dan spiritual bangsa Indonesia; dan 5) dalam upaya preventif dan promotif, PDSKJI melakukan advokasi secara proaktif pada masyarakat.

Lebih lanjut, Ikatan Psikologi Klinis (IPK) menyatakan: 1) memandang bahwa LGBT perlu diperlakukan secara manusiawi, berkeadilan, dan beradab; 2) berkomitmen untuk memberikan layanan yang profesional baik preventif maupun kuratif bagi individu atau kelompok dengan kecenderungan LGBT yang membutuhkannya; 3) menentang segala upaya eksploitasi, manipulasi, dan penyalahgunaan kecenderungan LGBT termasuk membujuk dan menghalang-halangi pemulihan; dan 4) tidak membenarkan keberadaan organisasi maupun komunitas formal atau informal yang mendukung LGBT karena bertentangan dengan budaya bangsa dan berpotensi merusak tatanan kehidupan bermasyarakat di Indonesia.

Faktor yang Mempengaruhi terjadinya LGBT

Dalam kajian Counseling and Mental Health Care of Transgender Adult and Loved One, fenomena transgender dinyatakan muncul tidak hanya karena pengaruh lingkungan. Pengaruh dari budaya, fisik, seks, psikososial, agama dan kesehatan juga turut andil dalam membentuk individu menjadi LGBT.

Menurut Byrd, faktor genetik memang menjadi kontributor terbentuknya individu menjadi seorang lesbi, gay, biseksual atau transgender sebagaimana yang digarisbawahi oleh kaum LGBT. Namun demikian, bukan berarti otomatis membuatnya sebagai LGBT. Pola asuh orang tua menjadi faktor terpenting dalam membentuk dan mewarnai sosok anak.

Bandura mengatakan, lingkungan dapat dibentuk oleh perilaku dan sebaliknya perilaku dapat dibentuk oleh lingkungan. Dalam hubungan resiprokal ini terjadi pembelajaran sosial yang mengarah pada transfer informasi, kebiasaan atau perilaku. Anak yang selalu menonton tayangan perilaku tak laras gender seperti laki-laki yang berperilaku gemulai membuka peluang bagi anak untuk bersikap sama.

Reaksi yang muncul pertama kali adalah perasaan aneh, lucu, atau bahkan tidak memberikan reaksi apapun, sebab anak belum memiliki skema pengetahuan tentang sosok maskulinitas pada laki-laki.

Reaksi kedua, anak mulai memiliki pengetahuan bahwa laki-laki bersifat seperti apa yang dilihatnya. Reaksi ketiga anak mengikuti gaya atau perilaku laki-laki yang sering dilihatnya. Selanjutnya perasaan aneh atau lucu di awal reaksi berubah menjadi perasaan yang understandable dan acceptable. Dalam kondisi ini sudah terjadi internalisasi nilai tentang sosok laki-laki yang lama kelamaan sangat mungkin berubah menjadi internalisasi pola perilaku.

Jika lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan sebaliknya perilaku dapat dipengaruhi oleh lingkungan, maka saat mulai terjadi internalisasi nilai, individu dapat membatasi diri untuk bersikap lebih bijak dalam menyikapi fenomena LGBT. Individu dapat merubah persepsi sekaligus pola fikir yang bersimpul pada pola perilaku untuk menolak atau mengikuti suatu fenomena tertentu.

Ditilik dari kajian psikoneurologis, individu dibekali kemampuan di dalam otaknya untuk melakukan imitasi gerakan, tindakan, suara, perilaku atau berbicara. Bagian otak yang bertugas mengatur imitasi yang dilakukan individu disebut lobus parietal dari belahan yang dominan. Temuan Liepmann menunjukkan bahwa individu yang mengalami lesi di bagian daerah-daerah otak tersebut kehilangan kemampuan meniru. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang awalnya hanya melihat beralih menjadi coba-coba sangat didukung oleh bagian otak manusia.

Imitasi berperan penting dalam membentuk komunikasi kognitif sosial seperti bahasa, bermain, gerak tubuh serta perhatian bersama. Imitasi tidak terlepas dari penguatan dan pelemahan. Manakala perilaku yang ditiru memberikan akibat yang positif, maka perilaku itu akan menguat, dalam arti perilaku itu akan terus diulangi. Sebaliknya jika perilaku hasil imitasi tidak mendapat penghargaan dari lingkungan, di sini terjadi pelemahan, maka kemungkinan besar perilaku tersebut akan berhenti.

Saat ini banyak remaja laki-laki yang bersikap feminin. Mereka berbicara lemah lembut dengan gaya dan intonasi layaknya perempuan, mengenakan pakaian berwarna mencolok dan sikap tubuh yang tidak tegas. Remaja laki-laki yang berperilaku demikian semakin hari semakin banyak mengemuka. Tanpa disadari masyarakat telah menerima kondisi mereka dengan tetap berinteraksi seperti biasa. Masyarakat tidak menunjukkan “keganjilan” dalam menerima mereka, sehingga perilaku semakin menguat. Remaja saat ini tidak lagi merasa aneh dengan berperilaku gemulai, bahkan kecenderungan untuk menjadikannya life style semakin menambah kepercayaan diri mereka dalam berpenampilan. Imitasi yang dilakukan oleh remaja.

Menurut Saul McLeod, anak mengamati model yang memberikan contoh perilaku maskulin atau feminin. Anak hanya meniru tanpa memikirkan objek tiru berperilaku maskulin atau feminin yang sesuai gender atau tidak. Hampir sama dengan teori imitasi, perilaku remaja laki-laki yang gemulai dapat dijelaskan dengan teori observasi (modelling). Perilaku terbentuk dengan cara mengamati orang lain. Terdapat empat proses yang terlibat dalam proses modelling ini, yaitu; 1) attention; 2) retention; 3) production dan 4) motivation.

Attention merupakan perhatian yang dilakukan oleh individu dalam mengamati perilaku. Anak menonton tayangan laki-laki gemulai secara terus menerus akan menimbulkan kesan inderawi. mereka melihat dan mendengar bagaimana perilaku gemulai itu dilakukan.

Retention merupakan penyimpanan memori atau ingatan terhadap apa yang mereka tiru. Kesan yang didapat melalui atensi akan tersimpan di dalam memory. Pengetahuan yang baru dimiliki ini tersimpan dengan sendirinya dan dapat dipanggil lagi saat dibutuhkan.

Production merupakan hasil dari atensi yang sudah diretensi. Remaja dapat melakukan gerakan-gerakan tertentu setelah memiliki pengetahuan di dalam memorinya. Perilaku anak akan menghasilkan apa yang sudah mereka lihat dan tersimpan di dalam memori. Perilakunya diproduksi secara berulang ulang hingga akhirnya menjadi perilaku yang terbiasa.

Motivation merupakan dorongan yang membuat mereka berperilaku gemulai tersebut. Motivasi akan muncul manakala pertama; terjadi penguatan seperti paparan terdahulu. Remaja yang “diterima” di masyarakat dengan perilaku demikian cenderung akan melakukannya lagi; kedua, memiliki tujuan tertentu, seperti membuat perilaku tandingan yang dapat menjadi trend setter; ketiga, ingin seperti sosok yang diidolakannya.

Perilaku remaja laki-laki feminin ini berpeluang menjadikan mereka LGBT. Sikap yang ditunjukkan dan diperkuat dengan tindakan menjadikan mereka memiliki perasaan lembut seperti perempuan. Ketertarikan terhadap perilaku yang lemah lembut akan menjauhkan mereka dari perilaku maskulin yang tegas dan berwibawa tanpa disadarinya.

Sella menemukan remaja yang melakukan imitasi terhadap perilaku dalam sebuah film drama Korea tidak menyadari sudah mengaplikasikan apa yang dilihat ke dalam kehidupan sehari hari. Pada usia pubertas, remaja mulai mengembangkan kapasitas social skillnya. Eksplorasi terhadap lingkungan sosial tidak lagi terbatas pada lingkup keluarga atau teman akrab saja. Peer group dalam relasi antara remaja membentuk rasa empati atau simpati kepada sesama teman.

Di sini remaja mulai memiliki kecenderungan menyukai temannya baik yang sejenis maupun teman yang berlawanan jenis. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan afeksi remaja semakin berkembang dengan baik. Kondisi demikian baik untuk perkembangan kesehatan psikologis remaja, akan tetapi jika remaja yang sejak lama terpapar tayangan aksi LGBT dapat berubah persepsinya dari empati kepada teman menjadi perasaan kasih sayang yang berlebihan.

Pandangan masyarakat mengenai LGBT

Pandangan Masyarakat Mengenai LGBT Sikap masyarakat secara umum terhadap LGBT Sebagian besar masyarakat menolak keberadaan LGBT, khususnya di sekitar lingkungan rumah.  Masyarakat umumnya melihat keberadaan LGBT sebagai suatu hal yang negatif, abnormal, dan kesalahan. Penolakan dan pandangan tersebut didasarkan atas ajaran agama yang dianut sebagian besar oleh masyarakat di Indonesia dan juga karena ada anggapan kuat bahwa Indonesia ialah negara religius. Selain itu juga, minimnya interaksi atau informasi tentang LGBT juga semakin menguatkan pandangan tersebut. Selama ini informasi yang diterima adalah LGBT orang-orang yang melulu berkaitan dengan perbuatan dosa. “Masyarakat dengan latar belakang sunda dan Agama Islam mereka tidak setuju dengan adanya LGBT.” (T, 22 tahun, Masyarakat, Bogor). “Masih belum menerima secara mayoritas ya, masih menganggap sebuah kesalahan sesuatu yang tidak normal dan tidak alami dan bertentangan dengan nilai-nilai agama, karena mayoritas dari kita mengaku beragama” (U, 31 tahun, Masyarakat, Jakarta).Latar belakang pengetahuan di atas sangat menentukan sikap masyarakat terhadap LGBT di lingkungan tempat tinggal mereka. Masyarakat umumnya memberikan kecaman dan menjauhi dari segala kegiatan sosial (pengucilan). Sebagian besar menganggap LGBT sebagai penyakit yang harus dihilangkan dan juga menakutkan bagi orang karena bisa menular. Pendapat tersebut didasari atas ajaran agama dimana Allah menghancurkan kaum LGBT (kisah nabi Luth). Oleh karena itu masyarakat takut akan terkena bencana akibat keberadaan mereka. “Mengecam sih kayaknya… Ya gak nerima, kaya gitu dianggap gak beragama gitu. Tapi kan orang secara general mengucilkan ya … Agak takut ya… Hmm.. gak tau ya. Kalau di agama itu kan juga ada satu kota yang musnah karena di situ orang-orangnya penyuka sesama jenis. Gak tau dihacurkan atau gimana, menurut agama ya karena isinya kaya gitu. Jadi ibaratnya kaya dosa gitu ...” (D, 51 tahun, Masyarakat, Bekasi). “.... Ngejauhin sih kaya takut aja disukain sama dia gitu, trus ya gitu sih, pada ngeri sih.” (I, 22 tahun, Masyarakat, Depok). Meskipun ada yang menolak keberadaan LGBT, sebagian masyarakat dapat memahami dan menerima keberadaan LGBT. Pandangan sebagian masyarakat terhadap LGBT pada saat ini sudah jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan sebelumnya. masyarakat telah memiliki pendidikan dan pengetahuan yang lebih baik mengenai LGBT. Oleh karena itu, masyarakat melihat LGBT sebagai orang-orang berbeda yang memiliki dunianya sendiri sehingga masyarakat tidak mendiskriminasi atau pun mendukung mereka, khususnya di Jakarta. “Untuk jaman seseorang LGBT disisihkan kayanya engga sih, mungkin jaman sekarang itu sudah banyak pengetahuannya dan pendidikannya, jadi sudah biasa aja, enjoy aja.” (En, 50 tahun, Masyarakat, Jakarta)